FAJARTIMURNEWS.com MAKASSAR – Praktik penegakan hukum di Sulawesi kembali dipertanyakan setelah Kantor Hukum Farid Mamma, S.H., M.H. & Partners mengajukan dua surat keberatan kepada Kapolda Sulawesi Barat dan Kapolda Sulawesi Selatan. Surat bernomor A-048/LP/ADV.LFM/VII/2025 dan A-049/LP/ADV.LFM/VII/2025, masing-masing tertanggal 24 Juli 2025, berisi laporan pengaduan atas dugaan pelanggaran hukum dalam penanganan perkara klien mereka, Andi Asri (40), pegawai BUMN asal Makassar.
Kuasa hukum menilai, rangkaian tindakan aparat kepolisian, khususnya oknum anggota Polres Majene dan penyidik Polrestabes Makassar, tidak hanya melanggar prosedur hukum, tetapi juga diduga kuat melanggar sejumlah pasal dalam KUHP dan KUHAP, serta aturan etik kepolisian yang berlaku.
*Dugaan Pelanggaran Prosedur Penangkapan dan KUHAP*
Penangkapan Andi dilakukan pada malam hari, 18 Juli 2025 pukul 20.00 WITA, oleh beberapa anggota Polres Majene tanpa didahului surat perintah penangkapan, surat tugas, maupun laporan polisi yang sah.
Penangkapan tersebut juga dilakukan tanpa status hukum yang jelas, baik sebagai tersangka maupun saksi.
Tindakan ini diduga melanggar:
- Pasal 17 KUHAP: Penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
- Pasal 18 ayat (1) KUHAP: Penyidik wajib menunjukkan identitas resmi dan menyerahkan surat perintah penangkapan kepada pihak yang ditangkap.
- Pasal 333 KUHP: Penangkapan tanpa dasar hukum yang sah dapat dikualifikasikan sebagai perampasan kemerdekaan dengan ancaman pidana maksimal 8 tahun.
“Penangkapan terjadi saat belum ada laporan polisi resmi terhadap klien kami. Ini tindakan tidak sah menurut hukum acara pidana,” tulis Farid dalam laporannya.
*Penyerahan Klien kepada Sipil: Perampasan Kemerdekaan dan Kolusi
Setelah ditangkap, Andi Asri tidak dibawa ke kantor kepolisian setempat, melainkan diserahkan oleh oknum aparat kepada seorang pengacara bernama Khairul Gaffar, S.H., yang merupakan kuasa hukum dari pihak pelapor. Bersama tiga orang lainnya yang juga sipil, Andi dibawa melintasi wilayah dari Majene ke Makassar tanpa pengawalan resmi aparat.
Tindakan ini berpotensi melanggar:
- Pasal 333 KUHP (lagi): Menyerahkan tahanan kepada warga sipil tanpa dasar hukum dianggap sebagai perampasan kemerdekaan.
- Pasal 421 KUHP: Pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan untuk memperkosa hak orang lain dapat dikenai pidana 2 tahun 8 bulan.
- Pasal 55 KUHP: Setiap orang yang turut serta melakukan tindak pidana termasuk sipil yang terlibat membawa tahanan dapat dikenai pidana sebagai pelaku.
“Pengawalan lintas provinsi dilakukan oleh warga sipil tanpa kapasitas hukum. Ini bukan hanya pelanggaran prosedur, tapi juga bentuk kerja sama yang mencurigakan,” ujar kuasa hukum.
*Gelar Perkara Terburu-buru, Bukti Belum Cukup*
Setibanya di Makassar pada 19 Juli 2025, Andi langsung diperiksa di Polrestabes. Padahal, laporan polisi baru teregistrasi pada hari itu juga, dan surat penangkapan serta penetapan tersangka baru terbit pada 20 Juli 2025. Artinya, selama hampir 48 jam, Andi ditahan tanpa status hukum yang sah.
Tahapan hukum yang semestinya:
Laporan → Penyelidikan → Alat bukti permulaan (minimal dua) → Gelar perkara → Penetapan tersangka → Penangkapan.
Namun dalam kasus ini, tahapan tersebut dilompati dan disusun secara terbalik.
Pelanggaran ini mengindikasikan:
- Pelanggaran Perkap No. 6 Tahun 2019 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
- Pasal 1 angka 1 KUHAP tentang asas legalitas dan perlindungan hak asasi.
- Unlawful Detention, yang dalam praktik hukum internasional dan nasional dapat diproses sebagai pelanggaran HAM dan pelanggaran serius terhadap integritas penegakan hukum.
Pemeriksaan Degrading dan Pelanggaran Konstitusi
Kuasa hukum juga menyebut pemeriksaan awal terhadap Andi dilakukan secara degrading, atau merendahkan martabat, tanpa perlindungan hukum, tanpa surat pemanggilan, dan tanpa pendampingan hukum yang sah.
Hal ini melanggar:
- Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945: Setiap orang berhak atas perlindungan dan perlakuan yang sama di hadapan hukum.
- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, khususnya Pasal 4 dan 9, yang menjamin hak atas kebebasan pribadi dan hak atas perlakuan adil dalam proses hukum.
Desakan Terhadap Dua Kapolda
Dalam dua surat pengaduan itu, Kantor Hukum Farid Mamma mengajukan tuntutan agar:
1. Kapolda Sulawesi Selatan memanggil dan memeriksa penyidik Polrestabes Makassar atas dugaan pelanggaran prosedur, penyidikan yang tidak sah, dan penahanan tanpa dasar hukum.
2. Kapolda Sulawesi Barat memanggil oknum anggota Polres Majene yang diduga menyerahkan warga ke sipil serta tidak mengindahkan KUHAP dalam penangkapan.
3. Kedua pimpinan kepolisian mengambil tindakan etik, disiplin, dan pidana jika terbukti terjadi:
• Pelanggaran PP No. 2 Tahun 2003 tentang Disiplin Anggota Polri.
• Pelanggaran Perkap No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian.
• Dugaan kerja sama tidak sah antara pengacara pelapor dan aparat.
*Respons Kepolisian Belum Diperoleh*
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari Polda Sulawesi Selatan, Polda Sulawesi Barat, Polrestabes Makassar, maupun Polres Majene terkait laporan pengaduan tersebut. Redaksi terus berupaya mengajukan permintaan konfirmasi dan akan memuat tanggapan dari pihak kepolisian begitu tersedia.
Redaksi akan terus mengikuti perkembangan kasus ini dan menghadirkan informasi secara berimbang. Dugaan pelanggaran hukum yang berat harus dijawab dengan transparansi oleh aparat.
Prinsip praduga tak bersalah tetap menjadi pijakan utama dalam peliputan ini. (*nck)