FAJARTIMURNEWS.com Bone, Sulawesi Selatan – Dugaan praktik pungutan liar (pungli) di sektor pertambangan kembali mencuat di Kabupaten Bone. Seorang pemilik izin tambang galian C di Desa Lampoko, Kecamatan Barebbo, berinisial ADL, diduga memanfaatkan legalitasnya untuk menarik setoran dari seluruh penambang yang beroperasi di wilayah tersebut, termasuk yang tidak berada dalam area perizinan.
Informasi ini disampaikan oleh sumber terpercaya media ini, sebut saja “I”, yang mengungkapkan bahwa dari sembilan tambang yang beroperasi di daerah tersebut, tiga di antaranya diduga berada di luar titik koordinat izin yang sah.
"Semua penambang menyetor ke ADL. Untuk tanah timbunan dikenakan Rp55 ribu per truk, sementara pemilik lokasi hanya menerima Rp7 ribu. Sedangkan untuk batu gunung, ADL diduga mendapatkan Rp75 ribu bersih per truk," ujar “I”, Jumat (10/5/2025).
Praktik setoran ini disebut telah berlangsung sejak November 2024 hingga sekarang. Bahkan, lanjut sumber tersebut, ADL menempatkan orang-orangnya di setiap titik lokasi tambang untuk memantau aktivitas dan memastikan jumlah material yang keluar tercatat dan disetorkan.
Ironisnya, ADL sebelumnya dikenal sebagai sosok vokal yang kerap mengkritik tambang ilegal. “Dulu dia yang teriak-teriak soal tambang tak berizin, sampai masuk media. Sekarang justru menambang di Sibulue, padahal izinnya katanya belum keluar,” ungkap sumber.
Saat dikonfirmasi, ADL enggan memberikan keterangan mendalam dan hanya menyampaikan, “Tabe ndi kalau mau sy jelaskanq lebih etis kl kita ketemu”.
Namun, saat ditanya terkait tambang batu gunung di Pakkasalo, Kecamatan Sibulue, ADL membantah tudingan tidak berizin dan menyebut perizinan sedang dalam proses. “Semua penambang pasir di Sibulue tidak berizin, itu lebih parah,” tukasnya.
Terkait dugaan pungli tersebut, pengacara kondang Sulawesi Selatan, Pirman, S.H., M.H., angkat bicara. Ia menilai praktik semacam ini merupakan kejahatan terorganisir yang berlindung di balik payung legalitas.
"Jika benar seorang pemilik izin menarik setoran dari tambang-tambang yang bahkan berada di luar titik koordinat izinnya, maka itu bukan sekadar penyalahgunaan wewenang, tetapi juga masuk ranah pidana korupsi dan pemerasan. Aparat penegak hukum wajib bertindak. Jangan sampai izin digunakan sebagai alat pemalak," tegas Pirman.
Senada dengan itu, Alif Daisuri, aktivis Front Pembebasan Rakyat (FPR), menyebut kejadian ini sebagai bentuk ketimpangan hukum di sektor sumber daya alam. "Ini contoh nyata kapitalisme tambang lokal yang menjajah rakyat kecil. Para penambang dijadikan sapi perah oleh pemilik izin yang mestinya memberi perlindungan. Kami dari FPR mendesak kepolisian dan Dinas ESDM segera turun tangan dan membuka kasus ini secara terang benderang," tegas Alif.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada respons dari pihak kepolisian setempat maupun Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Sulawesi Selatan terkait dugaan penyalahgunaan izin tambang di wilayah Bone tersebut.
Andi.Arman