FAJARTIMURNEWS.com KONAWE, SULTRA —Dugaan korupsi dana desa kembali mengguncang Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Kepala Desa Lahunggumbi dilaporkan ke Polda Sultra oleh DPD I LSM Gempa Indonesia Sultra atas dugaan penyalahgunaan anggaran sebesar Rp800.210.500 yang bersumber dari Dana Desa tahun anggaran 2024/2025. Dana tersebut sejatinya diperuntukkan untuk program bantuan UMKM dan pembangunan kantor koperasi desa, namun diduga kuat diselewengkan.
Di balik kasus ini, muncul persoalan yang lebih serius — lemahnya pengawasan dari pihak kecamatan dan inspektorat daerah, yang dinilai ikut membiarkan penyimpangan terjadi tanpa tindakan tegas.
Ketua LSM Gempa Indonesia Sultra menegaskan bahwa laporan ke Polda Sultra didasarkan pada temuan dan pengaduan masyarakat. Ia menilai, indikasi penyelewengan telah muncul sejak awal penyaluran dana, namun pihak pengawas seperti kecamatan dan inspektorat seolah menutup mata.
“Kami menduga ada permainan terstruktur. Tidak mungkin seorang kepala desa bisa mencairkan dana ratusan juta tanpa sepengetahuan pihak kecamatan dan inspektorat. Ini bukan hanya soal oknum kades, tapi juga sistem pengawasan yang lumpuh,” tegas Ketua LSM Gempa Indonesia Sultra.
Hasil penelusuran di lapangan menunjukkan, proyek pembangunan kantor koperasi desa yang tercantum dalam anggaran belum terealisasi sama sekali, meski dalam laporan administrasi disebut telah rampung. Warga juga menuturkan bahwa bantuan UMKM hanya dibagikan kepada orang-orang dekat aparat desa, sedangkan sebagian besar pelaku usaha kecil tidak pernah menerima bantuan.
Situasi ini memunculkan dugaan kuat adanya rekayasa laporan keuangan dan manipulasi data penerima bantuan, yang dapat dijerat dengan:
• Pasal 2 dan 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
• Pasal 9 dan 10 Permendagri No. 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa.
Kritik Keras terhadap Pengawasan Daerah
Sejumlah pengamat kebijakan publik menilai kasus Lahunggumbi sebagai bukti nyata rapuhnya integritas sistem pengawasan dana desa di Konawe. Inspektorat yang seharusnya menjadi benteng terakhir pengawasan justru dianggap mandul dan lamban menindak dugaan penyimpangan.
“Jika dana desa sebesar itu bisa diselewengkan tanpa terdeteksi, berarti bukan hanya kades yang bersalah. Rantai pengawasan dari kecamatan, pendamping desa hingga inspektorat jelas rusak,” ujar salah satu pemerhati antikorupsi di Kendari.
Menanggapi hal tersebut, LSM Gempa Indonesia Sultra mendesak Bupati Konawe dan Kejaksaan Negeri untuk segera memanggil seluruh pihak terkait, termasuk Camat dan Inspektorat, guna dimintai klarifikasi. Mereka menduga selama ini terjadi “kongkalikong halus” dalam pengelolaan dana desa, yang membuat praktik korupsi berlangsung mulus dan tertutup.
“Jika pengawas diam, berarti mereka ikut menikmati hasil korupsi. Kami tidak akan berhenti sebelum ada tindakan hukum nyata,” tegas Ketua LSM Gempa Indonesia Sultra.
Kasus Lahunggumbi kini menjadi potret buram pengelolaan dana desa di Sulawesi Tenggara. Dana yang seharusnya menjadi motor penggerak ekonomi rakyat, justru diduga mengalir ke kantong pribadi. Jika penegakan hukum kembali lemah, publik khawatir korupsi semacam ini akan menjadi “budaya baru” — kejahatan yang dibungkus dengan laporan rapi dan stempel resmi.